Wednesday 8 June 2011

MEMBEDAH KONSEP HT MENEGAKKAN KHILAFAH

Hingar bingarnya kampanye ’syari’at & khilafah’ yang diusung HTI membuat sebagian besar masyarakat Indonesia mengira bahwa akan ada sebuah proses ‘revolusi besar versi HTI’ yang akan mengantarkan kembalinya kekhalifahan dimuka bumi.
Dalam benak kebanyakan orang, mereka mengira bahwa akan ada sebuah tahapan proses sebagaimana proses kekhalifahan terbentuk di era shahabat. Suatu bayangan fase-fase perubahan yang demikian sejuk dan kuat dengan perjalanan proses yang kental dengan aura dan nuansa Islam yang agung dan bijak sebagaimana terjadi di era sahabat dan salafusshaleh. Yang benar-benar dan sama sekali berbeda dengan sistem yang pada zaman ini banyak dianut negera-negara Islam dan dunia pada umumnya.
Ilusi itu wajar saja muncul dan mengental. Karena memang diperkuat dan sejalan dengan apa yang selama ini menjadi issu HTI yang dijual ke tengah-tengah masyarakat. Tema-tema politis yang HTI kemukakan seperti ‘Demokrasi sistem kufur’ dan segala macam bentuk turunannya adalah sebuah benang merah yang semakin menguatkan ilusi tersebut. Terlebih, meriahnya hujatan yang ditujukkan kepada para aktivis da’wah yang memasuki panggung parlemen di negeri ini dalam forum-forum HTI seolah mempertegas bahwa demokrasi bagi Hizbut Tahrir itu kufur, sesat, bukan produk Islam, dan tidak mendatangkan manfaat sama sekali bagi umat Islam. Karenanya siapa saja yang menempuh jalur itu untuk memperjuangkan kepentingan Islam, termasuk mewujudkan kekhilafahan, hanyalah omong-kosong dan sia-sia belaka.
Kemudian disisi yang lain, Hizbut Tahrir juga memaksakan stigma bahwa keagungan kekhilafahan Islam hanya dan hanya benar ditempuh dengan cara-cara sebagaimana yang selama ini di tempuh HTI, bukan oleh yang lain (Fakta ini yang penulis yakini melatarbelakangi pernyataan Prof. Dr. Hassan Ko Nakat yang mengatakan bahwa Hizbut Tahrir merupakan satu-satunya gerakan Islam yang memperjuangkan konsep Khilafah, beberapa waktu lalu). Yaitu tidak memasuki sistem demokrasi yang mereka anggap 100% kufur dan harus merubahnya dari luar sistem yang ada. Tak heran jika kemudian HTI cenderung sinis dan tak pernah berlapang dada dengan aktivis da’wah lain yang menjadikan politik dan parlemen sebagai mimbar da’wah.
Oleh karena itu, dapat disaksikan betapa semangatnya HTI melakukan apa yang mereka sebut ‘merubah dari luar sistem’ dengan menyelenggarakan berbagai demonstrasi, seminar, kajian, debat, dan diskusi publik yang selalu saja pada bagian akhirnya pasti diarahkan pada satu kesimpulan ’solusinya adalah syari’at dan khilafah’. Mulai dari persoalan hubungan diplomatik luar negeri sampai dengan persoalan naiknya harga BBM dan minyak goreng. Sehingga ada yang berseloroh, “apapun menu dan materinya, solusinya adalah syari’at dan khilafah”.
Singkat kata, dalam konteks ini HTI menegaskan bahwa sistem demokrasi dan segala macam pernak-perniknya adalah kufur, dan wajib ditolak. Tak ada kebaikan sedikitpun didalamnya dan masuk ke dalam sistem tersebut adalah keputusan menjijikan yang sangat jauh dari Islam. Sehingga tidak ada ceritanya, demokrasi yang berprinsip ‘kedaulatan di tangan rakyat’, sebagaimana selama ini dibesar-besarkan oleh Ismail Yusanto (Juru bicara HTI), akan bisa menjadi batu pijakan untuk mewujudkan kekhilafahan yang memiliki prinsip ‘kedaulatan ditangan Allah’. Bagi mereka mustahil dan tak ada dalam kamus perjuangannya.
Pertanyaan penting yang kemudian muncul adalah, lantas bagaimana sesungguhnya konsep Hizbut Tahrir dalam memilih seorang khalifah?? Benarkah seperti saat-saat sebagaimana zaman para shahabat dan salafusshaleh? Ataukah bukan? Jika bukan, lantas mereka berkiblat (mengikuti sunnah) pada siapa?
Untuk membedah bagaimana konsep Hizbut Tahrir dalam menegakkan (memilih) seorang khalifah, ada baiknya kita simak kutipan wawancara salah satu media HTI ‘Tsaqofah’ dengan Jubir HTI, Ismail Yusanto, yang di lansir www.hizbut-tahrir.or.id (17/8), dalam tajuk ‘KHILAFAH vis a vis NASIONALISME’. Berikut ini sebagian dari petikan isi wawancaranya:
Burhanuddin (Tsaqofah):
Dari gambaran Anda, khalifah tampaknya memiliki tugas yang sangat berat. Dia memiliki hak prerogative dan hak tabani yang luar biasa dan seterusnya. Kira-kira bagaimana sistem pemilihan khalifah dilaksanakan?
Ismail Yusanto (Jubir HTI):
Sebenarnya itu tugas biasa saja. Sebagaimana tugas presiden yang berat itu toh juga bisa dilakukan, apalagi dengan semangat ketaqwaan dan keIslaman yang luar biasa. Saya ingin mengatakan bahwa memang khalifah itu idealnya seorang mujtahid. Makanya Hizbut Tahrir di dalam kitab Nidzamul Hukmi fi al-Islami membagi syarat khalifah menjadi dua: Pertama, syarat in’iqadz (syarat pengangkatan). Kedua, syarat afdhaliyat, syarat keutamaan. Di antara syarat keutamaan itu adalah bahwa seorang khalifah lebih disukai bila dia seorang mujtahid. Artinya dia paham Islam, paham syariat, paham ijtihad dan memiliki kemampuan untuk berijtihad. Dengan demikian, khalifah akan bisa melaksanakan hak tabani itu dengan sebaik-baiknya.
Nah, bagaimana proses pemilihannya? Itu sebenarnya proses biasa dalam kemunculan pemimpin umat. Di situlah pentingnya partai politik. Jadi dalam dalam sistem khilafah Islam pun nanti tetap saja akan ada partai politik Islam. Dan partai politik itu tugasnya ada dua: pertama, sebagai jalan untuk menuju kekuasaan. Yang kedua sebagai alat untuk mempertahankan sistem Islam dan mengoreksi penguasa. Sebagai jalan menuju kekuasaan, partai politik juga berarti merupakan jalan bagi munculnya tokoh-tokoh pemimpin umat.
Burhanuddin (Tsaqofah):
Lantas mekanisme untuk menentukan dari partai politik mana yang dipilih menjadi khalifah bagaimana?
Ismail Yusanto (Jubir HTI):
Tokoh dari partai politik mana saja, asal berideologi Islam, berhak dicalonkan atau mencalonkan diri. Mekanismenya ada dua: dipilih oleh majelis umat atau dipilih langsung oleh rakyat. Majelis umat itu adalah kumpulan wakil rakyat yang dipilih dengan prinsip wakalah dimana terjadi ijab qabul antara wakil dan muwakkil secara pasti. Dalam bahasa sekarang ini, bolehlah disebut dengan sistem distrik, karena antara wakil dan muwakil itu saling mengenal. Jadi memang betul-betul mewakili umat. Nah, majelis umat tersebut berhak membatasi calon, atau menentukan metode pemilihan khalifah. Itu satu alternatif. Kemudian yang kedua, majelis umat berhak membatasi calon, tapi pemilihannya diserahkan kepada masyarakat secara langsung.
Burhanuddin (Tsaqofah):
Dari segi prosedural, ada beberapa kemiripan dengan proses demokrasi. Lantas apa perbedaan substansialnya dengan demokrasi?
Ismail Yusanto (Jubir HTI):
Ya, memang dari segi prosedur tampak ada kemiripan dengan sistem demokrasi. Bedanya, kembali pada penjelasan saya di atas, bahwa meski mereka sama-sama dipilih oleh rakyat, dalam demokrasi dipilih untuk melaksanakan kedaulatan rakyat, sementara dalam Islam dipilih untuk melaksanakan kedaulatan syariat.
Konsep Hizbut Tahrir tersebut ternyata sama sekali tidak mencontoh dengan apa yang dicontohkan para shahabat mulia ketika mereka memilih Abu Bakar Ash-Shidiq menjadi seorang khalifah, juga khalifah Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thallib, bahkan khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz sekali pun. Dengan model seperti ini, Hizbut Tahrir justru menelan mentah-mentah methode yang ada dalam sistem politik demokrasi untuk memilih pemimpin yang akan mereka sebut khalifah.
Dengan sistem ini pula, akan muncul partai-partai politik di dunia Islam dalam kawasan yang lebih luas seperti misal: Partai Indonesia, Partai Arab Saudi, Partai Malaysia, Partai Pakistan, Partai Iran, Partai Qatar, dan lain-lainnya. Dan kemudian dunia akan melihat bagaimana antar partai-partai di atas berseteru di panggung parlemen dunia Islam demi memperjuangkan orang-orang pilihan dari masing-masing partainya untuk menjadi khalifah. Terlebih sesuai versi HTI ini, seseorang boleh mencalonkan diri menjadi seorang khalifah. Belum lagi partai-partai mayoritas muslim dengan azas partai bukan Islam yang juga eksis dimasing-masing wilayahnya. Jelas akan rumit dan runyam. Jika sampai terjadi hal yang demikian, maka semakin kencang saja dunia Barat dan non-muslim mentertawakan umat Islam. Sungguh sebuah pemikiran yang konyol dan tak masuk akal.
Berdasarkan dari apa yang kita saksikan dari pernyataan Juru bicara HTI, Ismail Yusanto, di atas, maka jelaslah bahwa fakta tersebut adalah suatu konsep yang selama ini jauh dipublikasikan HTI kepada masyarakat. Bahkan hemat penulis, tak pernah kenyataan ini disosialisasikan kepada publik umat Islam. Sehingga masyarakat awam, atau siapapun, mengira ada sesuatu yang lain dari pada yang lain dan luar biasa yang dibawa HTI bagi umat ini dalam mengusung penegakkan khilafah. Karena dikira akan ada kelompok manusia yang bertindak ’seperti barisan para shahabat’ yang akan mengembalikan atmosfer bumi seperti peri-kehidupan di zaman para sahabat atau salafussaleh dengan khalifahnya.
Tidak tahunya tak ada yang baru dan segar dari yang saat ini telah ada dikancah politik dunia. Sehingga seolah, issu syari’at dan khilafah hanyalah sebuah jargon iklan yang digelontorkan untuk menjual nama Hizbut Tahrir agar di kenal orang.
Lantas sungguh-sungguhkah Hizbut Tahrir berjuang untuk menegakkan khilafah? Wallau ‘a’lam bishawab. Hanya Allah saja yang tahu, apa sebenarnya yang sedang mereka perjuangkan. Jika dalam tindak-tanduk perjuangannya justru tidak jujur dan kadang melukai umat Islam lainnya (diantaranya apa yang dimuat Al-Islam edisi 361). Di lesannya menghujat dan menyudutkan gerakan da’wah lain yang menjadikan politik dan demokrasi sebagai salah satu millah da’wahnya, namun disisi yang lain Hizbut Tahrir juga ternyata menunggangi apa yang di hujat dan di kufurkannya sendiri. Inilah hal penting yang penulis katakan sebagai ‘ilusi yang menipu’.

No comments:

Post a Comment